Ligaolahraga.com -
Berita Liga Inggris: Mantan bek kiri Chelsea dan timnas Inggris, Graeme Le Saux, mengungkapkan pengalaman pahit selama memperkuat The Blues, menyoroti budaya ruang ganti yang ia sebut “keras dan melemahkan”.
Le Saux, yang kini berusia 56 tahun, membela Chelsea dalam dua periode — 1987-1993 dan 1997-2003 — dan mencatat lebih dari 300 penampilan. Dalam wawancaranya dengan The Telegraph, ia mengungkapkan bahwa atmosfer di ruang ganti Stamford Bridge sangat tidak bersahabat, terutama bagi pemain yang tidak sesuai dengan norma mayoritas.
“Lingkungan yang saya masuki di Chelsea sangat keras dan melemahkan dalam banyak hal,” ujar Le Saux. “Tidak ada kepedulian. Semua hanya soal olokan dalam bentuk terburuk. Mereka menyebutnya ‘menguji ketahanan mental’, tapi sebenarnya itu alasan untuk menyakiti orang.”
Graeme Le Saux menyebut budaya klub saat itu tidak memiliki tanggung jawab terhadap pemain muda. Ia juga menjadi korban olokan dan ejekan bernuansa homofobia, meskipun ia adalah seorang heteroseksual.
Salah satu pengalaman yang membekas adalah ketika ia membaca The Guardian atau pergi interrailing bersama teman pria — sesuatu yang langsung memicu olokan dari rekan-rekannya. Bahkan, pemain senior seperti Andy Townsend turut melontarkan komentar sarkastik, yang membuat Le Saux merasa kecewa. “Saya tahu Andy orang yang cerdas. Saya lebih kecewa karena dia seharusnya lebih baik dari itu.”
Graeme Le Saux juga mengenang masa kecilnya yang berat, termasuk kehilangan ibunya karena kanker saat ia berusia 13 tahun. “Kalau saya tidak melalui kesedihan kehilangan ibu dan masa kecil yang keras, mungkin saya tidak akan sanggup bertahan,” ujarnya.
Puncak pelecehan yang dialaminya terjadi pada 1999, ketika Robbie Fowler dari Liverpool melakukan gestur melecehkan ke arahnya dalam laga Premier League — memicu gelombang nyanyian homofobia dari tribun. Fowler akhirnya meminta maaf secara terbuka pada 2014, dan permintaan itu diterima oleh Le Saux.
Meski sempat meluapkan emosi lewat tekel keras terhadap Danny Mills pada 2001, yang kemudian ia sesali dan minta maaf secara tertulis, Le Saux menekankan bahwa dirinya selalu berusaha jujur terhadap diri sendiri. “Saya bangga tetap menjadi diri sendiri. Identitas saya sudah terbentuk kuat sejak kecil, dan itu membuat saya mampu bertahan.”
Le Saux juga mengenang momen manis di laga terakhirnya untuk Chelsea — kemenangan 2-1 atas Liverpool pada Mei 2003 yang memastikan tiket Liga Champions dan berperan dalam membuka jalan bagi akuisisi Roman Abramovich.
Kini, Le Saux bekerja sebagai pundit NBC dan menjadi salah satu pendiri perusahaan analitik sepak bola berbasis AI, Machine Football. Ia menilai budaya sepak bola saat ini jauh lebih sehat dibandingkan zamannya. “Sepak bola sekarang lebih menerima individu. Budaya belajar dan berkembang lebih kuat. Saya rasa itu akan sangat membantu saya jika terjadi dulu — mungkin saya bisa menjadi pemain yang lebih baik.”
Artikel Tag: Graeme Le Saux, Chelsea
Published by Ligaolahraga.com at https://www.ligaolahraga.com/bola/graeme-le-saux-ungkap-budaya-kasar-di-chelsea